
Bangkalan – Pendidikan merupakan pilar utama dalam membentuk karakter dan kualitas sumber daya manusia di suatu negara. Di Indonesia, sistem pendidikan telah mengalami berbagai perubahan seiring perkembangan zaman, mulai dari kurikulum yang berorientasi pada hafalan hingga pendekatan berbasis kompetensi dan karakter. Namun, tantangan dalam pelaksanaan dan keselarasan sistem pendidikan dengan kebutuhan zaman masih menjadi sorotan utama, terutama ketika dikaitkan dengan dampaknya terhadap perilaku generasi muda.
Model pendidikan di Indonesia secara umum masih didominasi oleh pendekatan konvensional, yang menekankan pada pencapaian nilai akademik, standar ujian nasional, dan pemenuhan kurikulum yang padat. Meskipun kurikulum terbaru seperti Kurikulum Merdeka mulai menekankan pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan penguatan profil pelajar Pancasila, implementasinya belum merata di seluruh daerah.
Fokus yang besar pada aspek kognitif sering kali mengabaikan pengembangan keterampilan sosial, emosional, dan karakter. Guru juga masih dihadapkan pada beban administratif dan keterbatasan pelatihan profesional yang berdampak pada metode mengajar yang monoton. Padahal, generasi muda saat ini—yang tumbuh di era digital—membutuhkan pendekatan pendidikan yang lebih interaktif, kritis, dan adaptif terhadap perubahan.
Dampak terhadap Perilaku Generasi Muda
1. Kecenderungan Pasif dan Kurang Kritis
Model pendidikan yang kurang memberi ruang untuk eksplorasi dan berpikir kritis menjadikan banyak siswa bersikap pasif dalam menerima informasi. Mereka lebih terbiasa mengikuti instruksi daripada berinisiatif, yang berdampak pada rendahnya kemampuan problem solving di kehidupan nyata.
2. Daya Juang yang Rendah dan Ketergantungan pada Bantuan Nilai
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena inflasi nilai di mana banyak siswa mendapatkan nilai tinggi meskipun kompetensinya rendah. Dalam survei internal oleh beberapa sekolah dan laporan guru di berbagai forum pendidikan, banyak siswa tidak menyelesaikan tugas secara mandiri, tetapi tetap mendapatkan nilai minimal karena tekanan dari kebijakan sekolah untuk “tidak ada siswa yang tidak lulus.”
Kebijakan seperti remedial tanpa batas, bantuan nilai oleh guru untuk memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal), serta tekanan untuk menaikkan semua siswa ke jenjang berikutnya telah menciptakan mentalitas instan. Siswa tidak lagi merasa perlu berjuang keras karena merasa akan “dibantu” pada akhirnya. Hal ini memicu learned helplessness — keadaan psikologis di mana individu terbiasa dibantu dan akhirnya tidak percaya diri untuk berusaha sendiri.
3. Kemampuan Dasar yang Rendah di Jenjang Lanjut
Fenomena yang mengkhawatirkan terjadi ketika siswa yang telah duduk di bangku SMP atau bahkan SMA, ternyata masih belum menguasai kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Menurut laporan Asesmen Nasional 2023 dari Kemendikbudristek, sekitar 34% siswa SMP mengalami kesulitan memahami teks bacaan sederhana. Bahkan, ditemukan beberapa kasus siswa SMA di daerah tertentu yang belum lancar membaca atau melakukan operasi hitung dasar. Hal ini menunjukkan bahwa sistem telah “menaikkan” siswa dari jenjang ke jenjang tanpa memastikan kompetensi minimum telah tercapai.
Situasi ini tidak hanya membahayakan masa depan siswa, tetapi juga menempatkan guru pada jenjang berikutnya dalam posisi sulit, karena harus mengajar materi lanjutan kepada siswa yang belum memiliki fondasi yang kuat.
4. Krisis Disiplin dan Meningkatnya Perlawanan terhadap Guru
Menurut laporan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) pada tahun 2023, terjadi peningkatan kasus siswa yang tidak menghormati guru, membantah, bahkan melakukan tindakan kekerasan verbal atau fisik. Hal ini dipicu oleh lemahnya pendidikan karakter dan ketidaktegasan dalam penerapan aturan serta kurangnya keteladanan.
5. Krisis Identitas dan Nilai
Minimnya integrasi antara pendidikan dan penanaman nilai-nilai moral secara kontekstual menyebabkan sebagian generasi muda mengalami kebingungan dalam membentuk identitas diri. Pengaruh media sosial dan budaya luar sering kali lebih dominan daripada nilai-nilai lokal atau nasional yang seharusnya diperkuat di sekolah.
6. Tingginya Tekanan Psikologis
Sistem evaluasi berbasis nilai dan ranking membuat banyak siswa mengalami tekanan psikologis. Kegagalan akademik sering dianggap sebagai kegagalan total, padahal keberhasilan seseorang seharusnya dilihat secara lebih holistik.
7. Ketimpangan Akses dan Kualitas
Perbedaan fasilitas dan kualitas guru antar daerah menyebabkan ketimpangan dalam mutu pendidikan. Generasi muda di daerah terpencil cenderung memiliki akses informasi dan pengembangan diri yang lebih terbatas dibandingkan mereka yang berada di kota besar.
8. Meningkatnya Individualisme
Persaingan yang ketat dalam dunia pendidikan dan kurangnya penekanan pada kerja sama serta empati menyebabkan banyak siswa berkembang dalam pola pikir individualis. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Kompetensi Pendidik: Bukan Sekadar Administrasi
Salah satu akar persoalan dalam pendidikan Indonesia adalah bahwa peran guru sering kali terjebak dalam rutinitas administratif, bukan pada fungsi sejatinya sebagai pendidik dan fasilitator pembelajaran. Banyak guru disibukkan dengan laporan, isian data, dan beban administratif yang menyita waktu dan energi, sehingga mengurangi fokus untuk mengembangkan kreativitas mengajar dan membimbing siswa secara mendalam.
Padahal, kompetensi keilmuan (subject-matter expertise) dan kompetensi pedagogik (kemampuan mengajar secara efektif) adalah dua pilar utama dalam mendidik siswa. Guru tidak hanya dituntut menguasai materi, tetapi juga harus mampu mentransfer ilmu dengan pendekatan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan siswa. Pendidikan bukan hanya soal menyelesaikan silabus, tetapi menyentuh hati dan pikiran siswa agar mereka tumbuh sebagai pembelajar sejati.
Sayangnya, sistem penilaian terhadap guru saat ini masih lebih banyak menilai dari kelengkapan administrasi, bukan kualitas pembelajaran atau dampak terhadap perkembangan siswa. Ini menyebabkan banyak guru terjebak dalam zona nyaman, menjalankan rutinitas tugas, dan kurang reflektif terhadap peran strategisnya dalam mencetak generasi masa depan.
Refleksi dan Harapan ke Depan
Pendidikan di Indonesia berada pada titik kritis yang memerlukan pembenahan menyeluruh, baik dari sisi sistem, sumber daya manusia, maupun budaya belajar. Meskipun berbagai kebijakan reformasi seperti Kurikulum Merdeka telah diluncurkan, hasil Asesmen Nasional 2023 menunjukkan bahwa hanya 1 dari 3 siswa SMP yang mampu memahami bacaan secara mendalam, dan sekitar 53% siswa mengalami kesulitan dalam numerasi dasar. Data ini menegaskan bahwa transformasi pendidikan belum menyentuh akar permasalahan, yaitu rendahnya kualitas pembelajaran yang terjadi di ruang kelas. Sekolah sering kali terjebak dalam mengejar target administratif dan kelulusan massal, bukan kualitas proses belajar yang sejati.
Di sisi lain, kualitas guru sebagai ujung tombak pendidikan juga menghadapi tantangan. Berdasarkan hasil UKG (Uji Kompetensi Guru) yang dirilis oleh Kemendikbudristek pada tahun 2022, rata-rata nilai kompetensi pedagogik dan profesional guru masih berada di bawah standar, yaitu 55 dari skala 100. Hal ini mencerminkan masih lemahnya penguasaan materi ajar dan metodologi pengajaran. Ironisnya, dalam praktiknya, kinerja guru lebih banyak dinilai dari kelengkapan administrasi seperti RPP, jurnal mengajar, dan laporan kegiatan, bukan dari dampaknya terhadap peningkatan pemahaman dan karakter siswa. Ini memperlihatkan adanya ketimpangan antara esensi pendidikan dan praktik birokratis yang membelenggu kreativitas guru.
Ke depan, pendidikan Indonesia harus diarahkan pada model pembelajaran yang bermakna, berpusat pada peserta didik, dan berorientasi pada penguatan karakter serta kompetensi yang mampu menghadapi era Society 5.0. Kurikulum dan evaluasi harus memberi ruang bagi siswa untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, dan bekerja sama secara kolaboratif. Guru perlu mendapatkan pelatihan berkelanjutan berbasis praktik nyata, bukan sekadar pelatihan formalitas. Pemerintah juga perlu memperbaiki sistem asesmen, baik terhadap siswa maupun guru, agar lebih berfokus pada kualitas dan dampak pembelajaran, bukan pada pemenuhan angka-angka formal semata.
Harapan besar terletak pada kolaborasi semua pihak: guru sebagai pelaksana pembelajaran, kepala sekolah sebagai manajer mutu, pemerintah sebagai regulator, dan orang tua sebagai pendidik pertama. Tanpa sinergi ini, pendidikan akan terus menjadi beban administratif yang kering makna. Generasi muda Indonesia perlu dipersiapkan untuk menghadapi tantangan global dengan kepercayaan diri, kejujuran, daya juang, dan kompetensi nyata. Maka dari itu, sudah saatnya pendidikan Indonesia tidak lagi sekadar mencetak lulusan, tetapi benar-benar mencetak manusia pembelajar sepanjang hayat yang siap membangun bangsa.
…
Diramu Oleh:
M. Latif – Dosen di Universitas Trunojoyo Madura