
Polisi adalah institusi yang lahir dengan mandat mulia: menjaga ketertiban, melindungi rakyat, dan menegakkan hukum dengan keadilan. Seragam yang mereka kenakan bukan sekadar atribut, melainkan simbol kepercayaan publik bahwa ada pelindung yang berdiri di garis depan untuk memastikan rakyat hidup dalam rasa aman. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari cita-cita luhur itu.
Dalam banyak peristiwa, rakyat justru berhadapan dengan wajah represif kepolisian. Aparat yang seharusnya merangkul, sering berubah menjadi alat represi yang mengintimidasi. Tindakan brutal yang melampaui batas kewenangan kerap dipertontonkan di hadapan publik, meninggalkan trauma dan ketakutan, alih-alih rasa aman. Polisi yang seharusnya menjadi simbol keadilan, kini perlahan menjelma menjadi simbol ketidakadilan.
Peristiwa polisi melindas pengemudi ojek online bukan hanya sebuah tragedi, melainkan potret nyata betapa institusi kepolisian tengah mengalami krisis moral dan kehilangan arah. Tindakan yang merenggut nyawa rakyat tak berdosa adalah pengkhianatan terhadap mandat konstitusi. Ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bentuk nyata kekerasan negara terhadap rakyatnya sendiri.
Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Giliraja (AMG) Ilham Fikri Andri mengecam keras tindakan brutal tersebut tidak berprikemanusiaan. Dia mengungkapkan “Nyawa Affan Kurniawan tidak bisa dianggap remeh, hal tersebut tidak bisa disapu dengan permintaan maaf formal, dan tidak bisa diredam dengan alasan “situasi chaos”. Negara tidak boleh bersembunyi di balik jargon keamanan publik sementara rakyat terus menjadi korban kekerasan aparat.” 30/08/2025
Fenomena ini membuktikan bahwa institusi kepolisian berada dalam kondisi sekarat, di mana legetimasi mereka sudah runtuh dan tidak lagi bisa diselamatkan hanya dengan perbaikan kosmetik. Diperlukan sebuah operasi bedah struktural dan legislatif yang radikal untuk menuntaskan penyakit akut ini.
Aksi-aksi kepolisian tidak lebih dari sekadar tempelan plester pada luka menganga. Persoalan sesungguhnya adalah krisis legitimasi yang mendalam dan hanya bisa diselesaikan dengan merombak total fondasi hukum dan struktur internal institusi. Tanpa itu, kepercayaan publik akan terus terkikis, menyeret kepolisian ke dalam jurang kepercayaan yang lebih mendalam.
Hal itu juga dipertegas oleh Moh. Helmi Kabid Intelektual AMG, dia juga mengungkapkan “Kami menuntut pertanggungjawaban penuh dari negara: proses hukum yang terbuka, transparan, dan tanpa tebang pilih terhadap seluruh pelaku, termasuk mereka yang berada di balik kebijakan dan komando lapangan. Polisi harus diadili, bukan hanya di meja etik, tetapi juga di pengadilan pidana. Setiap bentuk pembiaran adalah pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan dan hukum.” 30/08/2025
Alih-alih merespon dengan reformasi subtansial, kepolisian memilih untuk bertahan di balik perundang-undangan dan struktur usang yang justru menjadi biang keladi krisis. Ini bukan lagi soal perbaikan minor, melainkan tuntutan untuk sebuah revolusi institusional yang akan mengembalikan otoritas mereka, bukan melalui kekuasaan, melainkan melalui legitimasi yang dibangun dari nol.
“Tragedi ini harus menjadi alarm keras bahwa praktik kekerasan aparat tidak boleh lagi dinormalisasi. Negara harus menjamin hak-hak warga sipil dan menghentikan budaya impunitas yang sudah terlalu lama bercokol di tubuh kepolisian. Bila negara terus abai, maka rakyatlah yang akan mengisi ruang perlawanan dengan suara yang lebih lantang, dengan gerakan yang lebih luas, dan dengan solidaritas yang lebih kuat.” Ujar Syarif Hidayatullah Wasekum Intelektual AMG mempertegas gagasannya.
“Sejarah selalu menunjukkan, kekuasaan yang menindas rakyatnya sendiri akan runtuh oleh gelombang perlawanan. Dan hari ini, kita bersuara: nyawa rakyat tidak boleh murah di mata negara! Save Ojol, Save Rakyat Indonesia” Pungkas Syarif.