
Bangkalan, Saat ini, hampir seluruh sekolah di Indonesia tengah memasuki masa penilaian akhir tahun dan penentuan kenaikan kelas. Namun, di balik rutinitas tersebut, muncul fenomena yang semakin mengkhawatirkan: nilai siswa dipermudah, semua lulus, dan hampir semuanya meraih nilai tinggi, terlepas dari kemampuan asli mereka. Banyak guru kini merasa terjebak dalam dilema; mereka tidak bisa memberikan nilai rendah kepada siswa karena adanya tekanan dari pihak sekolah, orang tua, bahkan instruksi tidak tertulis dari atasan agar “tidak membuat masalah”. Data Kemendikbudristek (sekarang Kemendikdasmen) mencatat bahwa tingkat kelulusan nasional pada tahun 2023 mencapai lebih dari 99,5% di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah. Menariknya, sebagian kecil yang tidak lulus disebabkan karena siswa mengundurkan diri atau tidak diketahui keberadaannya, bukan karena ketidakmampuan akademik. Jika dilihat dari sisi akses, angka ini mungkin menggembirakan. Namun jika dilihat dari sisi kualitas, angka ini justru mengkhawatirkan, karena menandakan kemungkinan besar adanya kelulusan massal tanpa penilaian yang objektif.
Fakta di lapangan menunjukkan situasi yang memprihatinkan. Dalam sebuah laporan informal dari seorang pendidik di Jawa Timur, dari 36 siswa di kelasnya, hanya sembilan yang konsisten aktif dan menunjukkan semangat belajar. Namun demikian, mayoritas tetap memperoleh nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Di beberapa sekolah kejuruan, terdapat pula laporan bahwa siswa dinyatakan lulus meskipun masih mengalami kesulitan dalam praktik dasar sesuai bidang keahlian mereka. Dalam berbagai percakapan dengan tenaga pendidik, tersirat adanya kekhawatiran akan konsekuensi administratif apabila terlalu banyak siswa tidak lulus. Hal ini menggambarkan adanya kecenderungan kompromi terhadap standar mutu, yang didorong oleh keinginan menjaga stabilitas dan kelancaran proses akademik secara keseluruhan.
Fenomena ini secara langsung memengaruhi pembentukan karakter siswa. Mereka terbiasa berada dalam zona aman, di mana kegagalan dianggap tabu, dan tanggung jawab atas proses belajar tidak lagi penting. Mereka tumbuh dalam sistem yang membiasakan segala sesuatunya dimudahkan. Akibatnya, karakter mental siswa menjadi lemah. Mereka cenderung memiliki mental instan, minim daya juang, dan tidak siap menghadapi tekanan atau tantangan dunia nyata. Di dunia kerja, hal ini menjadi masalah besar. Lulusan seperti ini umumnya tidak tahan menghadapi kegagalan, tidak mampu berpikir kritis, dan tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara mandiri.
Dampak dari sistem ini bukan hanya menyentuh individu, tetapi juga berdampak besar terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia secara keseluruhan. Ketika angka kelulusan dan nilai tinggi menjadi satu-satunya indikator keberhasilan pendidikan, kita menciptakan lulusan-lulusan yang hebat di atas kertas namun kosong secara kompetensi. Studi Programme for International Student Assessment (PISA) oleh OECD memperkuat kekhawatiran ini. Indonesia berada di peringkat bawah dalam literasi membaca, matematika, dan sains, dengan skor sekitar 359, jauh di bawah rata-rata OECD yang mencapai 476. Jika dibandingkan dengan Vietnam, gapnya mencapai lebih dari 100 poin. Hal ini berpotensi mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dekade ke depan, akibat rendahnya produktivitas dari lulusan yang tidak berkualitas.
Lebih jauh lagi, visi besar Indonesia Emas 2045, di mana Indonesia ditargetkan menjadi negara maju dengan kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia berada dalam ancaman serius. Visi ini menggantungkan harapan pada kekuatan bonus demografi antara 2030 hingga 2045. Namun, bonus demografi hanya akan menjadi anugerah jika didukung oleh sumber daya manusia yang unggul, bukan hanya dalam angka kelulusan, tapi juga dalam karakter, ketangguhan, dan kompetensi kerja. Jika sistem pendidikan kita terus membiarkan siswa tidak kompeten lulus begitu saja, maka mimpi Indonesia Emas bisa menjadi sekadar mitos. Kita bukanlah menciptakan generasi unggul, melainkan generasi rapuh yang akan menambah beban sosial dan ekonomi di masa depan.
Melihat kondisi ini, seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem penilaian. Pertama, nilai harus dikembalikan ke fungsinya semula, yaitu sebagai representasi dari proses dan kompetensi, bukan formalitas. Sekolah dan guru harus diberikan ruang aman untuk menilai secara objektif, tanpa takut tekanan dari atasan maupun orang tua siswa. Kedua, perlu dibentuk tim audit mutu pendidikan yang independen, yang bertugas mengevaluasi praktik penilaian di sekolah. Sekolah yang terbukti menaikkan nilai secara sistemik demi angka kelulusan harus dikenai sanksi administratif dan pembinaan, termasuk revisi akreditasi. Ketiga, pendidikan karakter dan ketangguhan harus menjadi inti dalam proses pembelajaran. Kegagalan harus dianggap sebagai bagian penting dari pembelajaran, bukan hal yang harus dihindari.
Selain itu, kebijakan zonasi dan sistem penilaian pasca-penghapusan Ujian Nasional perlu dievaluasi ulang. Ujian yang terstandar secara nasional tetap dibutuhkan sebagai tolok ukur yang objektif untuk menilai kemampuan siswa secara menyeluruh, dan pelaksanaannya harus bersih dari kecurangan yang dimotori oleh sekolah. Dunia kerja dan dunia pendidikan tinggi membutuhkan jaminan bahwa lulusan benar-benar memiliki kemampuan, bukan sekadar sertifikat dan nilai tinggi. Untuk itu, sistem penilaian berbasis kompetensi, portofolio, dan praktik nyata perlu diperkuat.
Indonesia sedang berada di persimpangan sejarah. Jika kita terus membiarkan pendidikan dipermudah tanpa pertanggungjawaban terhadap mutu, maka kita akan gagal memanfaatkan momentum emas di tahun 2045. Namun jika kita berani menghadapi kenyataan, memperbaiki sistem secara menyeluruh, dan mengembalikan integritas dalam dunia pendidikan, maka kita masih memiliki harapan. Harapan untuk mencetak generasi unggul yang tangguh, jujur, dan siap bersaing secara global. Masa penilaian dan kenaikan kelas ini seharusnya tidak sekadar menjadi rutinitas tahunan, tetapi momentum untuk mengubah arah masa depan pendidikan Indonesia. Pertanyaannya kini bukan lagi, “berapa banyak yang lulus?”, tetapi “berapa banyak yang benar-benar tumbuh dan siap menghadapi dunia nyata?”. (red)
Saya sangat setuju dengan artikel ini, karena memang saat ini semangat belajar para pelajar Indonesia menurun mulai dari pelajar sekolah dasar sampai sekolah menengah hal ini di sebabkan karena semakin canggih nya teknologi saat ini. Maka dari itu perlu ada nya peraturan, perubahan dan kebijakan kebijakan yang baik dan benar agar para pelajar di Indonesia dapat meraih Indonesia emas di masa mendatang.
Terima kasih atas refleksi Anda! Memang benar, fenomena “lulusan hebat di atas kertas tapi lemah di dunia nyata” bukan sekadar kabar miring—ini panggilan nyata bahwa sistem pendidikan perlu disempurnakan.
Saya sangat setuju dengan artikel ini, karena memang saat ini semangat belajar para pelajar Indonesia menurun mulai dari pelajar sekolah dasar sampai sekolah menengah hal ini di sebabkan karena semakin canggih nya teknologi saat ini. Maka dari itu perlu ada nya peraturan, perubahan dan kebijakan kebijakan yang baik dan benar agar para pelajar di Indonesia dapat meraih Indonesia emas di masa mendatang.