
Oleh: Ilham Fikri Andri
Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Giliraja (AMG)
Wacana pemekaran Kabupaten Sumenep dengan membentuk Kabupaten Kepulauan Sumenep bukanlah ide baru, Gagasan ini sudah berulang kali muncul dalam ruang-ruang diskusi publik, baik di kalangan meja elit politik maupun di lingkaran masyarakat kepulauan. Sebagian pihak melihat pemekaran sebagai solusi strategis untuk mempercepat pembangunan di kawasan kepulauan, sementara yang lain masih mempertanyakan seberapa siap kita menghadapi realitas sosial, politik, dan administratif dari gagasan tersebut.
Sebagai bagian dari generasi pemuda yang tumbuh di tengah denyut kehidupan masyarakat kepulauan, saya merasakan langsung kuatnya aspirasi untuk keluar dari ketertinggalan. Wajar jika masyarakat kepulauan memandang pemekaran sebagai jalan untuk memperbaiki nasib, sebab selama ini mereka merasa terpinggirkan dari hiruk pikuk pembangunan di pusat kabupaten. Bagi mereka, pemekaran bukan sekadar pemisahan administratif, tetapi simbol keadilan dan harapan agar pemerintah lebih dekat serta responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Namun, kita perlu menyadari bahwa sebuah gagasan besar tidak bisa berdiri hanya di atas semangat. Kita harus jujur bahwa wilayah kepulauan Sumenep masih menghadapi berbagai persoalan mendasar: akses transportasi yang terbatas, pelayanan publik yang lambat, hingga kualitas sumber daya manusia yang belum merata. Jika pemekaran hanya dijadikan proyek politik tanpa pembenahan, maka ia akan menjadi beban baru, bukan solusi.
Selain faktor internal, kita juga dihadapkan pada kendala administratif. Pemerintah pusat masih memberlakukan moratorium pemekaran daerah, dan proses pembentukan kabupaten baru membutuhkan kajian panjang serta dukungan regulasi. Tanpa persiapan matang, pemekaran akan sulit diwujudkan dalam waktu dekat.
Meski demikian, bukan berarti wacana ini harus ditenggelamkan. Justru tantangan ini bisa dijadikan arah perjuangan jangka panjang. Pemekaran harus ditempatkan sebagai visi bersama yang digarap secara bertahap dan sistematis, bukan sekadar isu yang muncul menjelang momentum politik. Artinya, Pemerintah Kabupaten Sumenep harus membuktikan diri dengan memperbaiki layanan publik, membangun infrastruktur kepulauan, meningkatkan pendidikan, serta memastikan transparansi birokrasi.
Sementara itu, masyarakat juga tidak boleh pasif hususnya Pemuda, tokoh agama, akademisi, dan pelaku usaha harus memperkuat solidaritas sosial agar kepulauan memiliki daya tawar yang lebih kuat. Tidak ada gunanya menuntut pemekaran bila sumber daya manusia masih lemah, masyarakat belum bersatu, dan kapasitas lokal tidak berkembang. Pemekaran yang lahir tanpa kesiapan sosial justru akan menciptakan kabupaten baru yang rapuh.
Di titik inilah kita semua diuji: apakah aspirasi pemekaran akan menjadi energi positif untuk memperbaiki diri, atau hanya berhenti sebagai slogan politik yang menguap setelah momentum berlalu. Bagi saya, pemekaran bukan semata urusan menggambar ulang peta wilayah, tetapi soal menghadirkan keadilan dan kesejahteraan nyata bagi masyarakat kepulauan.
Karena itu, mari kita jadikan pemekaran Kabupaten Sumenep sebagai cita-cita jangka panjang—sebuah bintang penunjuk arah—sementara kaki kita tetap kokoh berpijak di tanah sendiri, bekerja keras membangun fondasi dari bawah. Bila konsistensi dan komitmen ini dijaga bersama, saya percaya pemekaran bukan hanya layak diwujudkan, melainkan akan menjadi contoh bahwa daerah mampu tumbuh karena kerja nyata dan gotong royong, bukan sekadar keputusan politik di meja birokrasi.